Kamis, 05 Maret 2015

Dear Me, Kisah Eksekusi Sindikat Narkoba Australia

Eksekusi dua terpidana mati kasus narkoba asal Australia membuat publik Australia geger. Rakyat maupun pemerintah negara itu ramai-ramai berteriak memohon agar dua anggota dindikat narkoba Bali Nine itu tidak dihukum mati.
[ baca selengkapnya ....... ]

Senin, 23 Februari 2015

Keadilan Bagi Timor Leste Prasyarat Demokrasi Indonesia

MANTAN menteri luar negeri (Menlu) Ali Alatas pernah mengatakan, masalah Timor Leste itu seperti kerikil dalam sepatu. Awalnya saya sangka ini sikap congkak seorang pejabat yang mau menganggap remeh masalah yang serius. Tapi belakangan saya berpikir, pernyataan itu bisa diartikan lain. Kita tahu kerikil betapa pun kecilnya tetap saja mengganggu dan kalau dipakai berjalan selama 24 tahun, pasti akan menimbulkan masalah juga. Boleh jadi ini pesan Alatas kepada dunia bahwa masalah Timor Leste ini walau ‘kecil’, tapi mengganggu dan harus secepatnya diselesaikan. Ia tahu persis bahwa pendudukan Indonesia yang membawa banyak korban itu mengganjal langkah Indonesia dalam pergaulan internasional, termasuk pencalonan dirinya sebagai sekretaris jenderal (Sekjen) PBB. Kerikil itu pada akhirnya harus dikeluarkan dari sepatu. Dan kesempatan itu datang sesudah Soeharto mundur dari jabatannya, yang memperlihatkan bahwa yang paling berkepentingan mempertahankan pendudukan yang tidak populer itu tidak lain dari rezim Soeharto sendiri. Pada 30 Agustus 1999, rakyat Timor Leste menentukan pilihan dan selebihnya adalah sejarah.

Segera setelah referendum masalah keadilan bagi Timor Leste mencuat ke permukaan, terutama karena pelanggaran hak asasi manusia selama referendum berlangsung. PBB sempat menurunkan komisi penyelidik ke Dili dan membicarakan kemungkinan membentuk pengadilan internasional bagi para pejabat Indonesia. Pengadilan itu tidak pernah terjadi, tapi tuntutan untuk menyelidiki dan mengadili para pelaku pelanggaran tidak berhenti di sana. Berbagai inisiatif muncul, termasuk pembentukan Panel Khusus untuk Kejahatan Serius oleh PBB di Dili, untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi antara Januari-Oktober 1999. Para pemimpin Timor Leste sendiri menyadari, tidak semua pelanggaran di masa lalu dapat diselesaikan dengan pengadilan. Pada 2002 kemudian dibentuk Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR), yang bertugas mencatat semua pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi antara 1974 dan 1999 di Timor Leste. Pada akhir 2005 komisi menyusun laporan setebal 2.500 halaman yang diberi judul Chega!

Di Indonesia sementara itu yang terjadi sebaliknya. Tuntutan untuk menyelidiki kasus pelanggaran hak asasi manusia di Timor Leste, terus diabaikan dan bahkan dihadapi dengan kekerasan.1 Ketika tekanan agar PBB membentuk pengadilan internasional mulai menguat, pemerintah Indonesia bergerak cepat membentuk pengadilan hak asasi manusia ad hoc untuk mencegah kemungkinan itu. Hasil pengadilan ad hoc itu sudah dapat diduga: semua perwira yang menjadi terdakwa divonis bebas. Hanya dua orang asal Timor Leste, gubernur Abilio Soares dan pemimpin milisi Eurico Guterres, yang diputus bersalah dan dijatuhi hukuman. Vonis ini mungkin untuk mempertahankan argumentasi Orde Baru bahwa yang terjadi di Timor Leste sesungguhnya adalah ‘perang saudara’ dan bahwa kehadiran militer Indonesia lebih untuk menengahi konflik itu. Pengadilan itu sendiri dalam prosesnya disulap menjadi panggung bagi para perwira TNI untuk mengobarkan patriotisme. Ketika Chega! diumumkan, pemerintah Indonesia malah mendesak pemerintah Timor Leste untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP), dan mengabaikan Chega! sama sekali.

Sepuluh tahun setelah referendum, orang mengira bahwa jalan bagi orang Timor Leste untuk mencari keadilan atas pelanggaran hak asasi manusia selama 24 tahun pendudukan Indonesia sudah tertutup. Perhatian internasional semakin lemah dan pemerintah Timor Leste sendiri kelihatan tidak antusias. Di titik inilah, saya kira, metafora ‘kerikil dalam sepatu’ tepat untuk dipikirkan lebih mendalam. Terlepas dari apa maksud Alatas yang sesungguhnya, saya kira metafora itu merupakan pengakuan tersirat bahwa pendudukan Indonesia juga membawa luka bagi Indonesia sendiri. Betapa tidak, jika setiap hari selama 24 tahun harus berjalan dengan kerikil dalam sepatu. Dalam tulisan singkat ini, saya ingin memperlihatkan hubungan antara penegakan kebenaran dan keadilan bagi Timor Leste dengan proses demokratisasi di Indonesia. Chega! tidak hanya penting bagi orang Timor Leste tapi juga untuk publik Indonesia yang memperjuangkan demokrasi.

***
Chega! adalah laporan paling lengkap mengenai apa yang dilakukan rezim Soeharto di Timor Leste selama 24 tahun. Presiden RDTL menyebutnya sebagai ‘ensiklopedi sejarah’. Bagi bangsa Indonesia, laporan itu melengkapi catatan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh rezim Soeharto sejak Oktober 1965. Pendudukan di Timor Leste tidak bisa dilihat sebagai penyimpangan atau perkecualian, tapi sebuah episode yang konsisten dengan watak rezim Soeharto selama 32 tahun berkuasa.2 Informasi yang dikumpulkan dalam Chega! bisa menjadi bahan pembanding untuk melihat pelanggaran hak asasi manusia di wilayah yang lain, seperti Aceh dan Papua, pembunuhan massal 1965-66, kerusuhan dan kekerasan seksual pada Mei 1998, atau penculikan aktivis pro-demokrasi 1997-98. Dengan membaca Chega! kita bisa memahami lebih baik pola pelanggaran, sosok para pelaku dan motivasi mereka, serta rantai komando dan organisasi yang bertanggungjawab dalam semua kasus tersebut. Tetapi sebelum sampai ke sana, ada baiknya kita lihat beberapa kesimpulan penting dari Chega! mengenai pendudukan Indonesia di Timor Leste.

Pertama, laporan itu merumuskan apa yang sesungguhnya terjadi. Pemerintah Indonesia mengklaim bahwa Timor Leste adalah wilayah Indonesia yang diintegrasikan karena orang Timor Leste sendiri menghendaki demikian. Chega! sebaliknya bertolak dari landasan bahwa Timor Leste adalah wilayah yang tidak berpemerintahan sendiri (non-self governing territory) karena proses dekolonisasi yang tidak selesai, dan bahwa pendudukan Indonesia adalah pelanggaran terhadap hak rakyat Timor leste menentukan nasib sendiri (right to self-determination). Penyelidikan menunjukkan bahwa rezim Soeharto menyusun rencana mencaplok Timor Leste, jauh sebelum orang Timor Leste konon ‘meminta integrasi’ dengan Indonesia melalui Deklarasi Balibo pada 30 November 1975. Sejak setahun sebelumnya militer Indonesia melancarkan berbagai operasi tertutup dan infiltrasi ke wilayah Timor Leste. Salah satu episode yang terkenal adalah serangan ke Balibo pada 16 Oktober 1975, yang menyebabkan tewasnya lima jurnalis Australia di sana. Pada 7 Desember 1975, militer Indonesia di bawah perintah Soeharto, melancarkan invasi ke Timor Leste dan menduduki wilayah itu secara ilegal.

Kedua, soal tanggung jawab. Chega! mengatakan korban jiwa akibat pendudukan mencapai sekitar 100.000 orang. Sekitar 10.000 orang mati dibunuh sementara lainnya mati di kamp-kamp ‘pemukiman kembali’.3 Tanggung jawab atas semua ini terutama ada pada Presiden Soeharto dan juga pada ABRI, badan-badan intelijen dan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), yang bertanggung jawab atas perencanaan dan pelaksanaan. Tanggung jawab ini mengikuti rantai komando dalam tubuh militer, sehingga perbuatan pelaku di lapangan tidak dapat dilepaskan dari perintah yang diberikan (atau pembiaran) oleh atasan. Laporan itu juga menyertakan daftar nama para perwira yang memimpin ABRI (kemudian TNI) sejak 1975 sampai 1999, dan juga mereka yang bertugas di Timor Leste. Banyak dari nama-nama itu yang kemudian menduduki jabatan penting dalam birokrasi, dan memperlihatkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak dianggap masalah oleh rezim Soeharto. Butir lain yang tidak kalah penting menyangkut tanggung jawab ini adalah “bangsa Indonesia tidak memikul tanggung jawab atas pelanggaran- pelanggaran ini.” Ada pemisahan yang jelas antara negara dan bangsa yang sering dicampur aduk dalam diskursus publik di Indonesia. Implikasi dari pernyataan ini akan saya bahas lebih lanjut di bagian terakhir.

Komunitas internasional ikut bertanggung jawab karena membiarkan rezim Soeharto melanggar hukum internasional tanpa sanksi apapun. Hampir semua negara maju, seperti Amerika Serikat, Australia dan negara-negara Eropa, mengakui hak menentukan nasib sendiri tapi dalam pemungutan suara di Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB, tidak mendukung resolusi yang mengecam Indonesia. Justru sebaliknya, dalam berbagai forum resmi negara-negara ini berpihak pada rezim Soeharto karena ingin menjaga hubungan baik dan kepentingan ekonomi masing-masing. Hal itu yang menjelaskan mengapa, misalnya, negara-negara ini atas nama ‘demokrasi dan kebebasan’ menghukum Irak ketika Saddam Husein melancarkan invasi ke Kuwait pada Agustus 1990, tapi membiarkan pembunuhan massal di pemakaman Santa Cruz, Dili, pada 12 November 1991. Sejak berkuasa rezim Soeharto mengubah haluan ekonomi Indonesia, membuka diri bagi penanaman modal asing, dan membina hubungan baik dengan negara-negara yang sangat berpengaruh dalam percaturan politik internasional. Timor Leste bukan hanya ‘kerikil dalam sepatu’ Jakarta, tapi satu dari sekian banyak kerikil dalam sepatu Washington.

Ketiga, motivasi pelaku. Pembunuhan massal terhadap orang yang tidak bersenjata sering dianggap sebagai ‘ekses’ dari pendudukan. Saya ingat waktu TNI dan milisi pro-integrasi menghancurkan Dili, para pemimpin militer meminta publik memahami ‘sikap emosional’ para prajurit di lapangan. Chega! menegaskan, pelanggaran hak asasi manusia terjadi bukan tanpa alasan, tetapi karena pemerintah Indonesia secara sistematis ingin membasmi gerakan yang memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri di Timor Leste. Para pemimpin militer secara terbuka menyatakan hal ini di media cetak maupun elektronik. Pembunuhan, karena itu, bukan ‘insiden’ yang tidak disengaja tapi dilakukan sebagai bagian dari strategi melumpuhkan gerakan itu. Pada akhir 1970an, pemerintah mendirikan ‘kamp pemukiman kembali’ untuk memisahkan masyarakat dari gerakan, yang berakibat 84.200 orang mati kelaparan dan terserang penyakit. Perkosaan dan kekerasan seksual juga bagian dari strategi penaklukkan di mana tubuh perempuan menjadi situs utamanya.

Keempat, soal skala pelanggaran. Selama 24 tahun ada kontroversi mengenai berapa sebenarnya jumlah korban di Timor Leste. Gerakan perlawanan melalui juru bicaranya waktu itu, José Ramos-Horta mengatakan jumlah korban mencapai 200.000 orang. Angka itu diambil dari hasil sensus yang menunjukkan penurunan jumlah penduduk sesudah invasi. Chega! adalah laporan pertama yang membuat perkiraan berdasarkan penyelidikan mendalam, dan memperkirakan jumlah korban seluruhnya sekitar 100.000 orang. Sekitar 18.600 orang mati dibunuh atau hilang, sementara 84.200 mati kelaparan atau karena penyakit di ‘kamp pemukiman kembali’. Jika dibandingkan jumlah penduduk ini berarti satu dari sepuluh orang menjadi korban, jumlah yang sangat spektakuler untuk negeri kecil seperti Timor Leste. Angka ini membuktikan, pelanggaran hak asasi manusia terjadi secara meluas dan sistematis.

Berbagai kesimpulan dari laporan Chega! ini penting untuk menerangi keadaan hak asasi manusia di tempat-tempat lain. Orang Aceh dan Papua, praktis mengalami perlakuan yang mirip dari militer Indonesia, mungkin karena banyak ‘alumni Timor’ kemudian bertugas di kedua daerah ini dan begitu juga sebaliknya. Tapi pelanggaran hak asasi manusia tidak hanya terjadi di daerah operasi militer. Penembakan terhadap warga tak bersenjata terjadi di mana-mana sepanjang kekuasaan Orde Baru (Nipah) dan bahkan sampai saat ini (Alastlogo). Perlakuan buruk dan penyiksaan terhadap tahanan untuk mengorek keterangan atau mendapat pengakuan juga terus berulang dan kadang berakibat kematian. Bukti dan kesaksian akan praktek semacam itu melimpah dari seluruh Indonesia. Penculikan dan pelenyapan yang mencapai ratusan kasus di Timor Leste juga menjadi metode militer dan polisi untuk mematahkan gerakan protes di Indonesia, seperti terlihat dari kasus penculikan aktivis pro-demokrasi pada 1997-98. Perkosaan juga terjadi di Aceh dan Papua dan sekali lagi menegaskan bahwa perkosaan bukan penyimpangan oleh segelintir oknum tapi bagian dari strategi penaklukan. Catatan pelanggaran hak asasi manusia yang panjang ini memperlihatkan, hubungan antara penguasa dan rakyat sangat timpang, seperti masyarakat feodal di masa lalu. Penguasa dianggap keturunan atau perwakilan dewa di bumi sementara penduduk tidak lebih dari cacah. Orang Indonesia maupun Timor Leste tidak diperlakukan sebagai manusia utuh, sebagai warga (citizen) yang dilengkapi hak-hak asasi, tetapi sebagai ‘bawahan’ (subject) yang bisa diperlakukan sekehendak yang berkuasa. Penguasa di atas kertas dibatasi oleh hukum, tapi dalam prakteknya punya kekuasaan mengatur pelaksanaan hukum itu sendiri. Selama Orde Baru berkuasa tidak ada perwira militer yang diajukan ke pengadilan karena kasus pelanggaran hak asasi manusia. Hanya tekanan internasional yang kuat akhirnya membuat penguasa bertindak dan penyelesaian biasanya dicari melalui mekanisme internal seperti pengadilan militer karena pelaku pelanggaran dianggap melakukan ‘kesalahan prosedural’ atau pembentukan dewan kehormatan perwira seperti dalam kasus pembunuhan Santa Cruz 12 November 1991.

Ketimpangan hubungan antara penguasa dan rakyat ini ikut menjelaskan krisis yang kita hadapi sekarang dalam kehidupan sebagai bangsa. Karena tidak ada kepastian hukum yang melindungi hak setiap warga, orang kemudian mengambil jalan pintas membangun benteng-benteng perlindungan mereka sendiri yang berbasis etnik, agama atau identitas lainnya. Identitas kelompok yang dimobilisasi dan diperkuat ini memberikan rasa aman dan juga rasa unggul, yang membuat anggota kelompok kerap merasa berada di atas hukum. Penutupan gereja dan penyerangan terhadap kelompok lain adalah cerminan dari perkembangan ini. Sektarianisme merebak dan berulangkali meledak sehingga jatuh korban jiwa dan harta yang tidak kecil. Aparat negara terbukti tidak mengambil langkah efektif untuk mencegah kekerasan dan dalam beberapa kasus malah terlibat mengobarkan sektarianisme. Persatuan nasional diikat dengan retorika – di beberapa tempat seperti Papua dan Maluku dengan represi – sementara masalah mendasar, yakni keadilan dan kesejahteraan, tidak ditangani.

***
Dalam berbagai kesempatan saya mendengar reaksi dari kalangan pejabat, elite dan juga orang biasa, bahwa ‘masalah Timor Leste’ (maksudnya penegakkan kebenaran dan keadilan atas kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia selama 24 tahun pendudukan), adalah ancaman terhadap persatuan dan kesatuan. Berbagai dalil dan dalih dibuat, misalnya, dengan mengatakan bahwa menyerahkan pelaku pelanggaran hak asasi manusia kepada pengadilan internasional atau panel khusus untuk kejahatan serius di Timor Leste itu melanggar kedaulatan Indonesia, atau mengatakan bahwa tuntutan untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia adalah ‘permainan asing’ untuk mengoyak persatuan dan kesatuan. Singkatnya, tanggung jawab hukum perorangan ingin dialihkan menjadi masalah harga diri bangsa semata-mata untuk menghindari tanggung jawab itu sendiri. Reaksi seperti ini saya kira mencerminkan sikap picik terhadap sejarah, politik dan hukum internasional, dan memelihara jiwa kerdil melalui patriotisme kosong. Dalam bagian ini saya akan membaca Chega! dalam kerangka demokratisasi di Indonesia, untuk membuat bangsa ini kembali pada jalur kebenaran dan keadilan yang sudah lama ditinggalkan.

Rekomendasi Chega! terdiri atas beberapa bagian yang masing-masing ditujukan kepada pihak-pihak yang terlibat. Rekomendasi kepada pemerintah Indonesia berkisar pada penegakkan kebenaran dan keadilan, yang menariknya, sejalan dengan tuntutan gerakan pro-demokrasi sejak masa Orde Baru. Pemerintah antara lain diminta mengakui pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi, meminta maaf kepada keluarga korban dan mengubah catatan resmi dan bahan pendidikan yang mencerminkan pengakuan tersebut.4 Untuk keperluan itu pemerintah juga diminta membuka dokumentasi tentang masa pendudukan baik yang menyangkut operasi militer, nama orang Timor Leste yang direkrut sebagai tentara dan tewas, nama orang yang dipindah paksa, para tahanan politik, maupun mekanisme pembentukan kelompok milisi pro-integrasi dan banyak lainnya. Pemerintah juga diminta memberikan informasi tentang para prajurit Indonesia yang tewas semasa bertugas dan membantu keluarganya. Informasi penting lain yang diminta adalah soal keterlibatan pemerintah dan militer Indonesia dalam kekerasan selama referendum 1999.

Implikasi dari langkah-langkah ini, jika memang dilaksanakan, saya kira akan luar biasa. Apalagi jika itu dilakukan untuk semua kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan semasa Orde Baru berkuasa. Chega! dengan jelas membedakan rezim Soeharto dari negara Indonesia dan orang Indonesia pada umumnya. Tanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia berada di pundak para pejabat, bukan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Setelah Soeharto jatuh, pemerintah semestinya bisa menarik garis batas yang jelas dengan masa lalu, membedakan diri sepenuhnya dari rezim Soeharto, dan membuka lembaran baru. Langkah itu juga akan membuktikan bahwa negara Indonesia kembali berjalan di atas hukum dan tidak tenggelam dalam ketiadaan hukum. Dalam konteks itu perlu juga dilihat rekomendasi agar pemerintah “bekerjasama secara penuh dengan upaya internasional ataupun upaya Timor Leste di masa depan yang berniat menangani masalah keadilan terhadap pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan di Timor Leste antara 1974 dan 1999.” Tetap ada harga yang harus dibayar untuk perubahan. Para pemimpin negeri ini harus berhenti bertingkah seperti anak kecil, yang berharap hantu-hantu jahat akan pergi kalau mereka memejamkan mata.

Bahwa semua itu tidak (atau belum) dilakukan sampai sekarang, saya kira mencerminkan ikatan yang kuat antara penguasa sekarang dengan kekuatan yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia di Timor Leste dan juga tempat-tempat lainnya di Indonesia. Tetapi itu tidak berarti bahwa publik harus ikut memelihara ikatan dengan masa lalu yang jelas merugikan demokrasi dan keutuhan bangsa. Menolak persekongkolan mengingkari kebenaran dan menghindari keadilan adalah langkah awal yang penting bagi bangsa ini untuk bangkit. Tunasnya sudah bertumbuhan di mana-mana seperti terlihat dari penerbitan informasi yang lebih berimbang tentang pelanggaran hak asasi manusia, keterlibatan publik yang lebih besar dalam kampanye dan advokasi masalah hak asasi manusia. Berbagai pencapaian ini perlu dikonsolidasi agar bisa dilihat dan dirasakan sebagai kekuatan. Laporan Chega! bisa memperkuat gerak itu dengan menyediakan bahan yang sangat solid. Tidak ada dokumen lain yang membongkar pelanggaran hak asasi manusia oleh rezim Soeharto dengan data dan penjelasan terinci seperti Chega!

Rekomendasi Chega! secara tidak langsung juga menunjukkan arah perubahan kelembagaan atau refomasi yang sangat diperlukan untuk mencegah berulangnya pelanggaran hak asasi manusia di masa mendatang. Chega! secara rinci menjelaskan struktur organisasi dan mekanisme represi yang dipakai oleh pemerintah Indonesia di Timor Leste dan – patut diduga – juga di tempat-tempat lain semasa Orde Baru. Chega! mengkonfirmasi apa yang di tempat-tempat lain masih berupa dugaan dengan data yang solid. Informasi yang dikumpulkan sangat penting untuk membayangkan struktur organisasi, wewenang dan tanggung jawab aparat keamanan di masa mendatang. Selama ini reformasi kelembagaan negara seringkali bertolak dari ide abstrak yang dipinjam saja dari tempat lain dan bukan dari pengalaman konkret. Chega! dalam hal ini jauh lebih berguna daripada nasehat para ‘konsultan’ atau ‘tenaga ahli’ yang kadang malah menyesatkan.

***
Di atas saya sempat menyinggung butir kesimpulan Chega! bahwa “bangsa Indonesia tidak memikul tanggung jawab atas pelanggaran-pelanggaran [hak asasi manusia] ini. Masyarakat sipil Indonesia menunjukkan keberanian yang luar biasa, dengan secara aktif mendukung hak bangsa Timor Leste atas penentuan nasib sendiri.” Kesimpulan ini jelas bertolak belakang dengan sikap penguasa yang ingin menjadikan kesalahan mereka di Timor Leste sebagai urusan bangsa. Sikap ini saya kira sama bejatnya dengan mengkonversi utang pribadi para konglomerat menjadi utang publik, yang kemudian harus dibayar oleh rakyat. Seperti halnya dalam urusan utang, banyak elite politik menggunakan jargon ‘harga diri bangsa’ atau patriotisme kosong untuk membela kepentingan mereka yang sangat sempit. Dengan rumusan yang lugas tentang tanggung jawab laporan Chega! menohok politik ‘atas nama bangsa’ ini tepat di ulu hati.

Masalahnya politik ‘atas nama’ ini akan tetap efektif selama orang Indonesia sendiri tidak menyadari bangsa itu bukan sesuatu yang terberi (given), tapi sesuatu yang dibentuk secara aktif dalam sejarah. Tali pengikat bangsa Indonesia bukanlah bahasa, suku atau agama (seperti yang ingin dikesankan sebagian orang belakangan ini), tapi kesamaan pengalaman sejarah dan juga komitmen pada keadilan, kesejahteraan dan kesetaraan. Bangsa Indonesia adalah sebuah komunitas politik yang membebaskan diri dari penjajahan kolonial dan berkomitmen untuk menghapus penjajahan dari muka bumi dan ikut serta menciptakan perdamaian dunia, seperti tertera dalam Pembukaan UUD 1945. Adalah Orde Baru yang menghancurkan ikatan komunitas ini dengan pembunuhan, penyiksaan, penahanan sewenang-wenang dan korupsi. Nasionalisme dimanipulasi untuk mempertahankan kepentingan penguasa. Keutuhan teritorial menjadi lebih penting daripada persatuan rakyat berbasis kesejahteraan dan keadilan.

Ketidakmampuan membedakan diri dan melepaskan diri dari nasionalisme picik Orde Baru membuat kita menjadi bangsa yang kerdil, pemarah dan tidak adil. Chega! menjadi cermin yang baik untuk mengingatkan kita pada komitmen keadilan, kesejahteraan dan kesetaraan yang melandasi bangsa Indonesia, sebuah landasan penting bagi kebangkitan kolektif dari krisis yang parah.***

Hilmar Farid
Mahasiswa Doktoral di National University of Singapore (NUS)

Artikel ini sebelumnya disampaikan dalam peluncuran buku Chega! di Perpustakaan Nasional, Jakarta, 7 Oktober 2010. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.

Catatan kaki:
1Demonstrasi menuntut keadilan bagi Timor Leste di Jakarta pada 15 September 1999 dibubarkan paksa oleh polisi. Azas Tigor Nainggolan, seorang pengacara hak asasi manusia yang memimpin demonstrasi itu ditembak sehingga harus dirawat di rumah sakit.

2Chega! mencakup periode 1974-99 yang memperlihatkan bahwa kekuasaan rezim Orde Baru tidak dengan sendirinya berakhir ketika Soeharto mengundurkan diri pada Mei 1998.

3Laporan itu juga menyebut pembunuhan yang terjadi ketika ada konflik internal (1974-76) dan yang dilakukan oleh gerakan perlawanan setelah invasi Indonesia.

4Dalam kurikulum 2004 pelajaran sejarah sudah membahas pendudukan dan referendum di Timor Leste.


Sumber: Harian Indoprogress, 11 October 2010
link: http://indoprogress.com/2010/10/keadilan-bagi-timor-leste-prasyarat-demokrasi-indonesia/
[ baca selengkapnya ....... ]

Mari Alkatiri: Anak Mudanya Xanana Kelompok Paling Korup

RMOL. Bekas Perdana Menteri Timor Leste Mari Alkatiri optimistis partainya, Frente Revolucion·ria do Timor-Leste Independente (Fretilin), akan memenangkan pemilihan umum tahun depan dengan absolute majority.

Muslim berdarah Yaman ini menilai pemerintahan Xanana Gusmao  gagal membangun sta­bilitas dan kesejahteraan rakyat.

Pemerintahan Xanana juga gagal melakukan regenerasi poli­tik di Timor Leste, sehingga gene­rasi muda di tubuh pemerin­tahan Xanana menjadi kelompok yang paling korup.

“Saya mengunjungi Timor Leste pada Desember lalu, dan saya melihat Timor Leste kini lebih stabil dan damai. Saya ber­te­rima kasih kepada Fretilin, bukan kepada pemerintah. Sebab, pemerintahan yang korup ini tidak bisa membuat perdamaian dan stabilitas,” ungkap Alkatiri dalam wawancara dengan Rakyat Merdeka akhir pekan lalu.

Berikut petikan wawancara:

Tahun depan, akan ada pe­milihan umum di Timor Leste. Apa rencana Anda?  Anda akan mencalonkan diri?
Saya tidak pernah mencalon­kan diri sebagai perdana menteri. Yang mengikuti pemilihan umum adalah partai politik. Nanti (bila menang), partai (Fretilin) yang akan menentukan siapa yang menjadi perdana menteri.

Anda yakin Fretilin menang?
Absolute majority, 50 plus.

Dalam Pemilu 2007 partai Anda menang, tapi Anda akhir­nya kalah karena tidak bisa men­jadi perdana menteri. Apa yang terjadi?
Itu karena ketiadaan etika demo­krasi dan etika politik di kalangan elite (politik). Itu hal biasa yang dapat kita temukan di mana saja, di muka bumi. Se­harus­nya, pemenang pemilu me­mang memiliki hak membentuk pemerintahan.

Apakah ketiadaan etika di ka­langan elite merupakan penye­bab utama terjadinya kudeta di Timor Leste?
Di Timor Leste pernah terjadi dua kudeta secara berturut-turut. Pertama, tahun 2006 (yang me­maksa Mari Alkitiri berhenti, red), dan kedua kudeta setelah pe­milihan umum tahun 2007.

Namun, kudeta kedua saya se­but sebagai kudeta konstitusional, karena aktor utamanya adalah sahabat saya, Xanana Gusmao.

Artinya, hubungan Anda de­ngan Xanana baik-baik saja?
Ya. Itulah sebabnya saya sebut dia sebagai sahabat saya. (Mari Alkatiri tertawa)

Anda pernah menang pemili­han umum tapi gagal memim­pin pemerintahan. Apakah Anda ti­dak khawatir hal serupa akan teru­lang lagi?
Itulah sebabnya kami bekerja keras untuk mendapatkan keme­nangan absolut, seperti yang kami peroleh di tahun 2001. Saat itu, dari 88 kursi di parlemen kami memiliki 57 kursi. Semen­tara sekarang, dari 65 kursi di par­lemen, kami memiliki 21 kursi.

Apa yang akan Anda laku­kan bila mendapatkan masalah yang sama?
Tidak akan. Karena, faktanya kami menghadapi situasi yang berbeda. Bahkan, kalaupun kami hanya menang dengan simple majority, saat ini jauh lebih mu­dah untuk membuat koalisi.

Xanana ingin membuat koalisi dengan yang lain, termasuk de­ngan kami. Jadi, apakah dengan simple majority atau absolute ma­jority, kami akan dapat memim­pin pemerintahan tahun depan.

Jadi, Anda akan menerima Xa­nana?
Sebagai wakil saya, mungkin.

Mengenai regenerasi politik di Timor Leste, bagaimana tangga­pan Anda?
Pemerintah telah gagal dalam me­lakukan regenerasi politik. Generasi muda di dalam peme­rin­tahan Xanana merupakan ke­lompok yang paling korup. Tapi, saya tidak mau menyebut nama mereka. Biarkan Komisi Antiko­rupsi yang bekerja untuk meme­cahkan masalah ini.

Mengapa?
Lebih baik tanya mereka. Tapi, menurut saya ini terjadi karena mereka sama sekali tidak me­miliki kualifikasi sebagai pejabat eksekutif, dan tidak pernah mem­bayangkan hal itu. Namun, tiba-tiba mereka diangkat sebagai pe­jabat eksekutif oleh aliansi yang sangat kosmetikal ini.

Menurut Anda, apakah tidak aneh bila di Timor Leste hanya ada tiga tokoh yang selalu mun­cul, yakni Anda, Ramos Horta, dan Xanana Gusmao?
Kami punya hampir satu juta orang. Dari jumlah itu, sebetul­nya ada yang memiliki kualifi­kasi. Tapi mungkin orang lebih suka nostalgia, berbicara tentang pe­mimpin dari masa lalu. Karena itu, kami perlu menghentikan hal ini.

Banyak yang mengatakan Xanana lebih Timor daripada Anda dan Ramos Horta, karena dia berjuang di Timor Leste se­mentara Anda dan Horta ber­juang di luar negeri?
Kami tidak melarikan diri. Kami dikirim untuk berjuang dari luar negeri. Benar, Xanana ber­juang di Timor Leste Dan saya adalah orang pertama yang meng­hormati hal itu. Tapi, yang dibutuhkan oleh Timor Leste hari ini adalah bergerak ke depan, bukan lagi terjebak pada nostal­gia masa lalu.

Mengenai hubungan Timor Leste dengan Indonesia dan ne­gara tetangga lainnya, bagi­mana?
Kami di antara dua raksasa (Indonesia dan Australia). Kami harus membangun hubungan yang baik dengan keduanya. Kami tidak bisa berpura-pura men­jadi kekuatan besar di kawa­san ini. Masa lalu adalah masa lalu. Kami berbagi batas dan sumber daya alam dengan cara yang tepat dan pantas. Yang juga jelas, kami tidak bisa mengisolasi diri kami.  [RM]


Sumber: Rakyat Merdeka - RMOL, Jum'at, 11 Maret 2011 , 08:43:00 WIB
link: http://www.rmol.co/read/2011/03/11/20682/Mari-Alkatiri:-Anak-Mudanya-Xanana-Kelompok-Paling-Korup-
[ baca selengkapnya ....... ]

Senin, 27 Februari 2012

Pemprop NTT Perlu Jelaskan Penggunaan Dana Bantuan Jepang

Kupang -RoL--Warga eks Timor Timur (Timtim) mendesak Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), untuk menjelaskan secara jujur dan terbuka tentang realisasi penggunaan dana kemanusiaan dari Pemerintah Jepang senilai Rp53 miliar.

Apabila tidak ada penjelasan, maka warga eks Timtim akan mengambil tindakan sepihak untuk mendapatkan rekening koran dari bank yang menyimpan dana tersebut, kata Hukman Reni dari Presidium Pengungsi Timtim, di Kupang, Rabu.

Dia mengemukakan, surat permintaan dari warga eks Timtim untuk mendapatkan penjelasan dari pemerintah telah disampaikan secara tertulis kepada Pemerintah NTT melalui Biro Bina Bantuan Sosial Setda NTT, awal pekan lalu.

Warga eks Timtim juga akan tetap menuntut Pemerintah NTT untuk mengadakan lokakarya dan melaksanakan sosialisasi langsung kepada warga eks Timtim di kamp-kamp pengungsian tentang alokasi pemanfaatan bantuan Jepang tersebut.

Lokakarya dan sosialisasi ini sudah disepakati bersama Menko Kesra, Yusuf Kalla, ketika berkunjung ke Kupang beberapa waktu lalu, kata Hukman Reni.

Karena itu, katanya, jika tidak ada pelaksanaan sosialisasi maka warga eks Timtim menganggap bahwa program-program yang diajukan pemerintah NTT dalam penggunaan dana bantuan Jepang tersebut sebagai keinginan sepihak pemerintah NTT.

"Artinya, hanya keinginan sepihak yang sama sekali bukan kebutuhan warga eks Timtim sehingga dapat dianggap sebagai tindakan memproyekkan kesengsaraan warga eks Timor Timur dengan berkedok kemanusiaan," katanya.

Hukman yang didampingi lima koordinator kamp pengungsian itu menegaskan, semua warga eks Timor Timur yang memilih menetap di Indonesia, telah bertekad untuk tidak akan meninggalkan wilayah Timor bagian barat NTT dengan resiko apapun.

Karena itu, katanya, pemerintah harus segera menyediakan tempat pemukiman permanen kepada warga eks Timtim di daratan Timor bagian barat, NTT, disertai fasilitas sosial lainnya, termasuk dana pemberdayaan ekonomi, katanya. (ant/rambe)
Berita ini bersumber dari Republika Online http://www.republika.co.id


[ baca selengkapnya ....... ]

Kamis, 09 Februari 2012

Kay Rala Xanana Gusmao: "Saya Menaruh Harapan pada Amien Rais"

Tanggal 12 November tujuh tahun silam. Mata dunia menyorot sebuah peristiwa Dili, sebuah kejadian yang di kemudian hari disebut sebagai tragedi Santa Cruz, suatu peristiwa yang kemudian menyebabkan puluhan warga Timor Timur (Timtim) tewas. Peristiwa itu dimulai dengan sebuah misa pemakaman Sebastiao Gomes di Gereja Motael, yang tewas akibat kerusuhan 28 Oktober. Upacara khidmat itu kemudian berubah menjadi arena unjuk rasa karena kebetulan Komisi Hak Asasi Manusia PBB tengah berkunjung. Unjuk rasa yang kemudian diakhiri dengan penembakan terhadap anak-anak muda Timtim itu hingga kini menjadi sebuah luka yang tak mudah dilupakan.

Lalu, di manakah sosok Xanana Gusmao saat itu?

Menurut pemerintah Indonesia, Xananalah yang melakukan provokasi dalam insiden ini. Sebagai pimpinan tertinggi Falintil--pasukan gerilyawan yang menginginkan Timtim merdeka--Xanana hari itu tengah berada di dekat Dili. Tapi apakah memang dia yang berperan? Bagi Xanana, yang bernama lengkap Kay Rala Xanana Gusmao, peristiwa itu adalah satu kejadian yang menimbulkan perasaan yang campur aduk. Setiap kali ia mengingat apa yang disebutnya sebagai tragedi Santa Cruz, "Ada rasa sedih. Namun, seiring dengan waktu, kepedihan itu menguap. Dan kami harus berjuang kembali," ujar Xanana.

Lucunya, meski sudah jelas Xanana dianggap pejuang di mata warga Timtim, ia tak lebih seorang dari kriminal senjata api dan bos gerombolan pengacau keamanan (GPK) di mata pemerintah Indonesia.

Penjara Cipinang, tempat ia menjalani total hukuman 20 tahun, menjadi saksi betapa populernya pria kelahiran Manututo, 20 Juni 1946 ini. Pada hari Rabu dan Minggu komandan Falintil ini sibuk meladeni puluhan tamu dari dalam dan luar negeri. Ze, sebutan akrab Xanana, tak ubahnya selebriti yang menghadapi puluhan penggemar. Di LP Cipinang Xanana biasanya muncul di ruang besuk pukul 10.00 dan menyapa tamu-tamunya dalam bahasa Tetum, Portugis, Inggris, atau Indonesia, tergantung kepada siapa ia berbicara. Khusus untuk teman-teman dekat dan kerabat, ada tambahan bonus: pelukan dan ciuman.

Pria setinggi 178 cm ini memang tampan dan rapi, jauh dari kesan gerilyawan yang pernah 18 tahun hidup di hutan-hutan di berbagai kawasan pegunungan Timtim. Pencinta sepak bola itu menjalani kehidupan yang berbeda di dalam bui dibandingkan dengan kehidupan belasan tahun di hutan bersama dengan tentara Falintil. Di Cipinang ia bisa lebih tenang memikirkan rencana yang digagasnya sejak 1975: Timor Leste Merdeka (Timor Timur Merdeka).

Perjalanan Presiden Conselho Nacional Resistencia de Timorese (CNRT) atau Gerakan Perlawanan Nasional Rakyat Timtim ke Cipinang itu adalah akhir dari safari panjang di hutan-hutan kawasan pegunungan Timtim, di mana Xanana berseteru dengan tentara Indonesia selama 16 tahun. Perlawanannya patah pada Jumat subuh, 20 November 1992. Di sebuah rumah di desa Labane Barat, Dili, pasukan baret merah pimpinan Kapten Teddy Laksamana menyergap bos gerilyawan Falintil itu, yang baru selesai mandi.

Tanggal 20 Mei 1993 ia divonis hukuman bui seumur hidup--dikurangi menjadi 20 tahun tahun penjara oleh grasi Presiden Soeharto pada 17 Agustus 1993--oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Dili. Ia sempat dikurung di Lembaga Pemasyarakatan Kedungpane, Semarang, sebelum akhirnya dipindahkan ke Cipinang pada pertengahan 1993. Xanana mengaku rindu benar kembali ke Timtim. Ia mencintai keindahan bukit-bukit di seputar Baucau, yang amat akrab dengannya semasa ia di hutan. Sesekali, bila kenangan melankolik pada tanah kelahirannya itu tak lagi tertahankan, ia menuangkan perasaannya dengan melukis. Berikut adalah petikan wawancaranya dengan wartawan TEMPO Yusi A. Pareanom, Leila S. Chudori, dan Hermien Y. Kleden.

Apa yang sebenarnya terjadi di Santa Cruz tanggal 12 November 1991?

Pembantaian Santa Cruz tidak bisa dianggap peristiwa yang berdiri sendiri. Kita harus melihat kejadian-kejadian sebelumnya. Saat itu kami sedang mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangan parlemen Portugal. Ini kesempatan terbaik untuk memberitahukan pada dunia tentang keinginan kami, yaitu menentukan nasib sendiri.
Apa yang sesungguhnya direncanakan saat misa pemakaman di Santa Cruz?

Anak-anak muda ini menemui saya di tempat persembunyian di Dili. Mereka bertanya apa yang harus dilakukan. Setelah berunding, kami sepakat untuk melakukan pemakaman secara damai bagi korban yang jatuh. Lagipula banyak orang yang sembunyi karena ngeri. Namun kami meremehkan ABRI. Kami tidak menyangka bahwa militer bisa bertindak sekejam itu di Santa Cruz. Saya betul-betul tidak percaya ini bisa terjadi. Sebab, secara psikologis, saya berpikir tak mungkin ada insiden, mengingat saat itu Indonesia tengah jadi sorotan setelah batalnya kunjungan parlemen Portugal. Ternyata saya keliru.
Anda menyesal telah salah perhitungan?

Tidak. Saya tidak menyesal, hanya merasa sakit bahwa peristiwa itu bisa terjadi.
Apa yang mereka lakukan dalam persiapan ini?

Biasalah, anak-anak muda itu ingin membuat aksi yang hebat-hebat. Saat itu saya juga tahu bahwa intel militer telah mengawasi perkembangan situasi. Namun tiba-tiba pada saat-saat terakhir Jakarta melarang delegasi Portugal itu datang, dengan argumen yang tidak dapat diterima.
Saat penembakan itu berlangsung, Anda berada di mana?

Di dalam kota Dili tidak jauh dari Santa Cruz. Saya bisa mendengar letusan senjata. Saya berpikir, "Oh, my God, now they are killing my people." Bagaimana ini bisa terjadi? Mengapa demonstrasi damai harus dilawan dengan kebrutalan? Saya menitikkan air mata. Tapi pasukan gerilya saya datang dan berkata pada saya, "Kakak, jangan menangis."
Apakah pasukan Anda tidak membalas tembakan?

Tidak. Sebagai pasukan gerilya mereka tahu apa yang harus dilakukan. Saya sendiri bukan ahli gerilya.
Di mana para korban dimakamkan?

Di dua tempat. Pertama, di Hera, lima kilometer sebelah timur Dili. Kedua, di sebelah barat Dili. Palang Merah Internasional berusaha mengikuti kendaraan yang mengangkut jenazah tapi akhirnya tercecer. Terus terang, kami tidak tahu pasti di mana letak yang sebenarnya. Terlalu banyak kamuflase. Jalan-jalan yang akan dilewati truk pengangkut jenazah sudah dilubang-lubangi, sehingga sulit diikuti.
Ada keluarga Anda yang menjadi korban?

Tidak. Tetapi mereka semua adalah "keponakan" saya.
Tampaknya Anda saat itu bisa leluasa bergerak di Dili?

Jaringan klandestin kami sangat rapi. Semua terselubung. Mereka hanya mengizinkan saya bergerak di dalam kota bila semuanya sangat aman.
Apakah Anda punya peran dalam penembakan massal di Santa Cruz?

Saya punya peran? Anda bercanda. Pemerintah Indonesia memang menuduh saya memprovokasi penembakan itu.
Apa sekarang strategi perjuangan Anda?

Saat ini kami sedang mencoba segala cara untuk menyosialkan permasalahan Timtim ini. Saya sadar, tidak semua orang paham dengan yang sebenarnya terjadi di sana. Maka bantuan media massa akan sangat berarti. Kami punya kekuatan moral. Bila kami gagal, kami yakin anak cucu kami akan meneruskan. Tetapi sepertinya saatnya kok sudah dekat (wajah Xanana terlihat cerah).
Dari mana datangnya keyakinan ini?

Setelah reformasi, ada tanda-tanda nasib Timtim akan membaik. Saya yakin, paling lama 20 tahun dari sekarang, kami sudah bisa merdeka. Apalagi kalau Megawati atau Amien Rais yang menjadi pemenang pemilu. Bisa-bisa hanya sampai tahun 2000, ha-ha-ha....
Anda masih percaya dengan perlawanan bersenjata?

Sejak 1987 atau 1988 kita sudah tahu bahwa tidak mungkin kita mampu mengusir ABRI dari Timor dengan senjata. Namun perlawanan senjata bukannya tidak mempunyai arti. Perlawanan senjata memiliki tempat tersendiri dalam kondisi ini.
Apa komentar Anda soal otonomi yang ditawarkan pemerintah Habibie kepada Timtim?

Dalam hal ini, sebetulnya saya tidak bisa berbicara sebagai pribadi. Saya harus berbicara berdasarkan keinginan rakyat. Otonomi itu tidak penting. Yang penting adalah niat baik (dari pemerintah Indonesia) yang harus kami hormati. Otonomi ini, menurut saya, harus dilihat sebagai periode transisional. Kami harus membuktikan kemerdekaan tidak akan datang kalau kita tidak melakukan sesuatu. Dan kemerdekaan itu tidak bisa diperoleh secara drastis. Dalam rangka itulah kami memegang komitmen tentang otonomi sebagai suatu usaha yang berkesinambungan ke arah Timor Leste Merdeka.
Jadi, otonomi ini diterima sebagai bagian dari perjalanan menuju referendum?

Otonomi itu kami terima sebelum referendum disetujui untuk dilaksanakan. Pada dasarnya kami mau meyakinkan rakyat Indonesia bahwa persoalan ini adalah masalah antara pemerintah RI dan kami, orang Timtim, bukan antara orang Timtim dan seluruh rakyat Indonesia.
Seandainya referendum itu dilaksanakan dan rakyat memilih integrasi. Apa yang akan Anda lakukan?

Tentu kami harus mengikuti kehendak rakyat Timtim, kendati secara pribadi saya tidak percaya rakyat akan memilih integrasi dengan Indonesia.
Anda akan meninggalkan Timtim seandainya integrasi menjadi suara mayoritas?

Kenapa harus pergi? Saya akan tetap tinggal di Timtim. Pada dasarnya kami bukan antiintegrasi. Yang kami lawan adalah cara-cara pemerintah Indonesia memaksakan ide integrasi dengan cara represif.
Apa yang akan Anda lakukan pada orang-orang Timtim prointegrasi jika pada akhirnya rakyat Timtim menolak integrasi?

Kami selalu mengatakan pada segenap rakyat Timtim bahwa dalam perjuangan (untuk mencapai kemerdekaan) kami belajar dari banyak hal: kesalahan kami (Timtim) pada masa lalu serta pengalaman negara lain, termasuk dalam hal rekonsiliasi nasional. Rekonsiliasi nasional hanya bisa terjadi bila semua orang bisa duduk dengan rendah hati serta tahu dan mengakui kesalahan sendiri. Semua rekonsiliasi nasional harus dimulai dari jalur politik, bukan jalur hukum. Banyak orang yang kehilangan sanak-keluarga selama masa perang. Kalau kita memikirkan semua pembunuhan yang terjadi, kita terbakar oleh rasa marah dan dendam.
Apakah itu artinya Anda juga akan memaafkan sosok seperti Gubernur Abilio Soares, yang dikenal sangat berpihak kepada integrasi?

Saya tidak mau menyebut nama per nama. Ada orang-orang yang saya istilahkan punya "tangan penuh darah". Ada yang punya "tangan penuh rupiah". Ada lagi yang punya tangan "penuh rupiah berdarah". Terhadap semua itu saya bisa mengatakan dengan ikhlas, "We have no revenge".
Dibandingkan dengan beberapa publikasi yang pernah Anda buat beberapa tahun silam, sikap ini terdengar bijaksana. Apakah penjara telah mengubah Anda?

Saya sering merenung bahwa yang paling penting dari seluruh perjuangan ini adalah Timor Leste Merdeka. Untuk mencapai itu kami harus bisa melupakan hal-hal yang kurang penting.
Perubahan sikap Anda ini apakah karena Anda merasakan ada perubahan tertentu dalam sikap pemerintah Indonesia?

Reaksi kami sangat bergantung pada aksi-aksi yang dilancarkan pemerintah Indonesia. Jika pemerintah Indonesia mengajak bicara baik-baik, ya kita ladeni. Kalau di sana mengajak bicaranya dengan cara keras kepala, tentu reaksi kami pun tidak lebih dari itu, yaitu sebagai orang yang keras kepala.
Perubahan sikap apa yang Anda rasakan dari rezim baru ini?

Yang amat saya hargai adalah perubahan sikap Menteri Luar Negeri Ali Alatas. Sebelum reformasi, Ali Alatas hanya mau berunding dengan suatu kondisi, yaitu Portugal harus menerima integrasi Timtim dengan Indonesia. Namun dalam perundingan segi tiga Agustus lalu, di New York, yang dihadiri Menlu Ali Alatas, Sekjen PBB Kofi Anan, dan Menlu Portugal Jaime Gama, saya lihat Alatas sudah bisa berunding tanpa persyaratan itu. Hal ini merupakan perubahan dari pemerintahan Habibie, meskipun memang belum ada perubahan yang berarti menyangkut hal-hal yang lebih.
Anda menyebut-nyebut perlunya saling memaafkan dalam proses rekonsiliasi. Kesalahan apa dari tentara Falintil yang membuat mereka perlu meminta maaf?

Apa saja yang sudah dituduhkan harus kita jernihkan. Ada dosa kolektif yang harus ditanggung oleh dua belah pihak. Harus ada pendekatan baru dalam sikap menuju proses (perundingan) baru.
Anda berjuang di hutan lalu masuk penjara sebagai kriminal. Sedangkan Ramos Horta hidup bebas di luar negeri, lalu mendapat Hadiah Nobel pula. Komentar Anda?

Dia telah memperjuangkan apa yang menjadi bagiannya. Ketika pecah perang di Timtim, Ramos dan kawan-kawan lain kebetulan sedang ke luar negeri. Dan mereka terus berada di sana, berjuang dalam jaringan internasional. Orang mengatakan banyak hal yang buruk tentang Ramos Horta. Misalnya, katanya, ia suka memainkan uang. Itu tidak benar. Kami sama-sama berjuang. Dia berjuang di luar negeri, saya berjuang di sini. Kami sangat dekat, ibarat jiwa dan raga yang tak terpisahkan. I am the body and he is the soul.
Anda tidak keberatan dengan gaya Ramos Horta yang cenderung bermewah-mewah?

Kami dapat menerimanya karena ia sedang dalam misi bangsa kami. Dan tentu saja kami tidak bisa meminta ia untuk berpakaian seperti gembel. Ingat, ia dalam misi diplomatik. Di hutan saya berpakaian seragam tentara. Tapi di sini saya tidak bisa diminta memakainya bukan?
Bagaimana Anda mendorong anak-anak muda Timtim menerima ide Timor Leste Merdeka yang belum ketahuan bentuknya?

Anda jangan menyangka pemuda-pemuda Timtim itu seperti pemain sinetron. Mereka sudah biasa hidup susah. Mereka datang belajar ke Jawa dalam keadaan serba kekurangan, tapi mereka bertahan. Tahun 1990-1992 di Timtim ada semacam gerakan perjuangan di kalangan pemuda Timtim untuk melawan tentara Indonesia. Para pemuda Timtim sudah berjuang sejak berada dalam kandungan ibunya. Ketika ibu mereka menangis karena kekejaman tentara Indonesia, tangis itu menjadi national anthem bagi orang Timtim.
Ada kesan para pemuda Timtim itu "keporto-portoan". Mereka, misalnya, memilih lari ke Portugal, padahal Portugal kan pernah menjajah Timtim selama ratusan tahun?

Saya rasa hal itu tak dapat dipisahkan dari hubungan politik, sejarah, dan budaya. Dalam hubungan dengan perjuangan Timtim Merdeka kami merasa paling banyak mendapat dukungan dari Portugal. Negara-negara Barat yang hebat-hebat itu, yang kampiun demokrasi, tidak mau berhadapan dengan Indonesia bila bicara soal perjuangan demokrasi bagi tanah air kami. Adapun Portugal lain, tetap mendukung perjuangan kami. Portugal memang pernah menjadi menjajah Timtim. Dan hubungan kami pada masa itu adalah hubungan antara penjajah dan orang terjajah. Kami memang tidak punya memori tentang kemerdekaan di bawah penjajahan Protugal, tapi kami pernah mengalami masa-masa yang lebih baik. Portugal sebagai penjajah tidak merusak kebudayaan kami. Di kota, misalnya, yang berlaku memang hukum pemerintah penjajah. Tapi di desa-desa yang berlaku adalah hukum adat.
Bila Timtim akhirnya merdeka, kira-kira bahasa nasional apa yang akan digunakan?

Bahasa Tetum akan menjadi bahasa nasional. Untuk bahasa resmi kami akan menggunakan bahasa Portugis. Sedangkan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia akan menjadi bahasa bisnis.
Anda punya perkiraan, kapan bisa bebas?

Saya menaruh harapan pada Amien Rais. Bila ia menjadi presiden pada tahun 2000, saya yakin saya bisa bebas kembali.
Kenapa Amien Rais?

Karena ia meletakkan demokrasi menduduki tempat yang tinggi dalam platform pendirian partainya. Jika orang menaruh demokrasi pada tempat setinggi itu, masa ia membiarkan begitu saja orang yang memperjuangkan demokrasi bagi tanah airnya?
Anda punya kontak dengan Amien Rais?

Sejauh ini belum ada.
Ada kabar yang menyebutkan Anda pernah bertemu Habibie atau utusannya Habibie.

Belum. Habibie kan terlalu tinggi. Tentu saja saya ingin (bertemu Habibie), tapi tidak ada tanda-tanda bahwa saya dianggap dapat membantu penyelesaian Timtim. I'm a criminal, remember? Ha-ha-ha. Tapi kalau betul ia mau bertemu dengan saya, saya akan senang.
Saat bertemu dengan Nelson Mandela, apa saja yang Anda bicarakan?

Pertemuan dengan Mandela itu sangat bernilai. Apalagi beliau bisa melakukan itu pada zaman pemerintahan Soeharto. Perhatian dari beliau menunjukkan perjuangan rakyat kami tidak sia-sia. Dalam pembicaraan itu ia menyatakan dukungan pada penyelesaian yang adil. Mandela juga menasehati untuk memperhatikan masalah rekonsiliasi nasional. Beliau berkata, tanpa merangkul semua, penyelesaian itu tidak akan terjadi.
Apakah Anda pernah mengalami penyiksaan selama dalam tahanan?

Secara fisik, tidak pernah. Tetapi secara psikologis mereka menganiaya. Pada waktu pertama kali saya ditangkap, tentara tidak memberi kesempatan saya untuk tidur. Itu membuat saya kehilangan kapasitas untuk berpikir dan berkonsentrasi. Perlakuan ini saya terima di Denpasar dan di markas Bais (Badan Intelijen Strategis). Saya dipaksa mengaku menjadi warga negara Indonesia, makanya saya sempat menolak diwawancarai.
Bagaimana dengan tuduhan bahwa Anda bertanggung jawab terhadap terbunuhnya tentara Indonesia?

Saya bilang pada mereka bahwa itu benar. Bahkan saya mengakui semua aktivitas yang dilakukan gerilyawan. Masalahnya, saya adalah komandan mereka.
Bagaimana hubungan Anda dengan Uskup Belo?

Secara politis, sangat bagus. Kami memberi dukungan satu sama lain karena tujuan kami satu, yakni: memerdekakan tanah air kami. Pidato Uskup Belo saat menerima Nobel sangat bagus ketika menyebut bahwa semua umat manusia terlahir merdeka.
Apakah Anda tidak merasa kehilangan keluarga selama ditahan?

Tentu saja saya merindukan mereka. Tetapi rakyat Timor telah mengembangkan perasaan baru bahwa keluarga sendiri tidak lagi sedemikian berharganya seperti halnya dalam kehidupan normal. Keluarga hanya bagian kecil. Coba lihat "adik perempuan" saya ini (Xanana menunjuk salah seorang pengunjung. Bagi Xanana semua pengunjung dari Timor adalah saudaranya). Suaminya saat ini telah mengalami kerusakan mental yang sangat berat. Ia menerima siksaan apa saja yang pernah terlintas di otak manusia. Saat ini suami adik saya ini sedang menjalani masa tahanannya. Dia datang ke sini untuk minta tolong karena ia mengalami kesulitan dalam membiayai anak ke sekolah. Saya nanti mengatur agar adik saya yang lain bisa membantu. Nah, mendengar kesulitan yang semacam ini, kecemasan terhadap anak sendiri berkurang. Apalagi anak saya sekarang di luar negeri menjalani kehidupan yang lebih baik dan tanpa teror.
Kapan Anda terakhir bertemu dengan keluarga?

Pertemuan terakhir dengan anak-anak tahun 1996, ketika mereka menjenguk ke sini. Sedangkan istri saya datang tahun 1994.
Apa perbedaan perlawanan yang dilakukan semasa penjajahan Portugal dan sekarang?

Yang paling membedakan adalah kondisi represifnya. Zaman Porto setelah pendudukan Jepang selesai, kami telah mendengar bahwa Angola dan jajahan Porto yang lain telah merdeka. Kami bukannya tidak mau merdeka, tapi belum merasa mampu pada saat itu. Maka perlawanan yang kami lakukan lebih pada perlawanan di bidang budaya dan sosial, yang sifatnya lebih teoretis, misalnya kami enggan mematuhi peraturan yang ini atau itu dan kami juga tidak mau membayar pajak. Namun saat itu situasinya tidak represif. Setelah tentara Indonesia masuk, yang kami hadapi adalah senjata.

Sumber Majalah Tempo Online, 10 NOVEMBER 1998
Link source:
[ baca selengkapnya ....... ]

Menko Hatta Janji Bantu Perbaiki Nasib Pengungsi Eks Timor-Timor

REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG--Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa, berjanji akan segera melakukan langkah nyata mengatasai persoalan warga Indonesia eks Timor Timur. Mereka kini tersebar di sejumlah lokasi pengungsian di Nusa Tenggara Timur dalam himpitan ekonomi.
"Saya akan segera berkoordinasi dengan sejumlah menteri untuk menangani eks pengungsi Timor Timur di NTT," kata Hatta Rajasa di Kupang, Sabtu (18/12), ketika ditanya soal kepeduliannya terhadap warga eks Timtim yang ada di NTT.
Hatta Rajasa yang juga Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) berada di Kupang, ibu kota Provinsi NTT untuk membuka Musyawarah Daerah III PAN NTT pimpinan Eurico Guterres.
Ditanya detail Hatta enggan menyebut langkah konkrit yang akan dilakukan pemerintah pusat kepada masyarakat warga Indonesia eks Timtim. Namun, ia menegaskan akan segera melakukan aksinya, demi mengangkat kehidupan ekonomi masyarakat di lokasi pengungsian tersebut.
"Saya tidak bisa sebut langkah yang akan saya lakukan, namun yang pasati saya akan segera melakukan sejumlah hal untuk membantu mereka (masyarakat eks pengungsi Timtim) dari kesulitan ekonominya dengan berkoordinasi dengan sejumlah menteri," katanya.
Hatta Rajasa mengaku, sedih dan sangat teriris hatinya ketika melihat langsung kondisi kehidupan warga Indonesia eks Timtim di lokasi pengungsian di Desa Naibonat, Kabupaten Kupang. Warga yang tinggal sekitar 36 km timur Kota Kupang masih sangat kesulitan dari aspek ekonomi dan lainnya.
"Jujur saya menangis melihat kondisi kehidupan ekonomi mereka di sana (pengungsian, red). Saya harus lakukan sesuatu untuk mereka," ujarnya.
Menurut dia, penanganan masyarakat Indonesia eks Timtim di pengungsian memang menjadi tanggung jawab bersama. Yntuk itu, secara riil, pemerintah pusat akan segera melakukan sejumlah intervensi demi pemulihan ekonomi masyarakat itu agar bisa menikmati kesejahteraan.
"Mereka (eks pengunsi Timtim, red) adalah juga bagian dari anak-anak bangsa yang memilik hak yang sama untuk menikmati kesejahteraan, karenanya pemerintah siap melakukan sejumlah aksi di sana," kata dia.


Disalin dari: Harian Republika, Minggu, 19 Desember 2010 05:24 WIB
[ baca selengkapnya ....... ]

Pengungsi Eks Timor Timur Tunggu Janji Hatta Rajasa

RMOL. Pengungsi eks penduduk Timor Timur yang berada di dua kamp di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), menunggu janji Menko Perekonomian Hatta Rajasa membantu menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi.

Hatta Rajasa bertandang ke kamp pengungsi eks Timtim  tanggal 18 Desember lalu ketika mengunjungi Kupang untuk menghadiri Muswil DPW Partai Amanat Nasional (PAN).

Di kamp Tuapukan, ia bertatap muka dengan ratusan pengungsi yang sejak sebelas tahun lalu tinggal di tempat itu. Hatta berjanji akan membantu pendidikan anak-anak pengsungsi dan memperbaiki kondisi kamp. Hatta juga sempat menitikkan airmata haru saat berbicara dengan pengungsi.

Beberapa saat lalu (Jumat, 31/12) Marcelino Hornai, kordinator pengungsi di kamp Noelbaki, menghubungi Rakyat Merdeka Online dan menitipkan pertanyaan apakah janji yang disampaikan Hatta di Kupang sudah ditindaklanjuti atau belum.

"Kami menanyakan ini karena sudah sebelas tahun kami tinggal disini, persoalan kami semakin banyak dan perhatian pemerintah kurang," ujarnya.

Selain persoalan pendidikan anak pengungsi, Marcelino yang sejak masuk Islam tahun 1993 mengubah nama menjadi Abdul Kholik juga mengatakan bahwa kondisi kamp yang buruk juga perlu segera direnovasi agar setiap rumah jadi layak huni.

Dia juga mempersoalkan pemukiman yang disiapkan pemerintah.

"Banyak yang tidak mau pindah kesana karena status tanahnya tidak dimiliki pengungsi, melainkan dimiliki masyarakat setempat. [guh]


Sumber                  : Rakyat Merdeka Online, Jum'at, 31 Desember 2010 , 11:16:00 WIB
Laporan                : Teguh Santosa
[ baca selengkapnya ....... ]
 
Gudangrusak.com © 2010